Followers

Ads-to-click

Saturday, October 23, 2010

Diam


Pada saatnya kita harus pandai dan banyak bicara. Suatu ketika  kita harus sedikit bicara. Suatu waktu kita harus hati-hati bicara, dan di lain waktu kita harus diam.
Diam, kata Rasulullah SAW adalah pilihan terbaik dikala kita tak mampu lagi mengatakan kebaikan. Dalam sebuah haditsnya riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda,
    ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam…”
Sebagian Ulama menafsiri makna hadits ini yaitu; Jika seseorang ingin berbicara tentang sesuatu  yang tampak kebaikanya, maka hendaklah ia bicara. Jika tidak demikian, maka hendaklah ia menahan lisanya. Karena banyak sekali bencana yang ditimbulkan oleh lisan. Maka diam merupakan salah satu jalan keselamatan, sebagaimana hadits:
    ”Barangsiapa yang diam maka dia selamat.”
Diam itu emas, demikian sebuah pepatah mengatakan. Seorang Ulama sufi, Wuhaib bin Walid RA pernah berkata,
    ”Hikmah itu terdiri dari sepuluh bagian. Sembilan bagian diantaranya diam.”
Umar bin Khatthab RA juga pernah mengingatkan,
    ”Barangsiapa yang banyak bicaranya banyak juga salahnya.”
Seorang sufi terkemuka Ibrahim bin Adham RA pun menguatkan ucapan Umar bin Khatthab RA tersebut,
    ”Manusia sering celaka karena dua hal, yaitu kebanyakan harta dan kelebihan bicara.”
Diam tak hanya berhenti bicara. Namun bisa juga berhenti berbuat. Tak melakukan apapun, selain kebaikan. Asmad bin Asram yang datang meminta nasihat kepada Rasulullah SAW, dengan kalimat retoris, beliau balik bertanya,
    ”Apakah engkau mempunyai tanganmu sendiri?” Asmad menjawab, ”Kalau tidak memiliki tangan, apalagi yang saya miliki?” Rasulullah SAW bersabda, ”Kalau demikian, janganlah mempergunakan tanganmu, kecuali untuk kebaikan. Dan jangan mempergunakan lidahmu, kecuali untuk kabaikan.” (HR. Bukhari Muslim)
Abu Hatim meriwayatkan dari Ka’ab bin Malik RA, bahwa ia  berkata:
    ”Keselamatan ada sepuluh bagian, bagian kesembilan adalah diam.”
Beliau juga meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA berkata,
    ”Demi Allah yang tidak ada sesembahan selain-Nya, tidak ada Sesutu yang paling berhak untuk mendapatkan penahanan yang lebih lama daripada lisan.”
Alkisah diceritakan, bahwa tatkala Nabi Yunus AS keluar dari perut ikan, maka beliau melamakan diam, lalu dikatakan keadanya:
    ”Apakah kamu tidak bicara? Lantas beliaupun menjawab: ”Perkataan itulah yang menyebabkan aku masuk kedalam perut ikan.”
Imam Asy Syafi’i :
    ”Jika salah seorang dari kalian ingin berbicara maka hendaklah ia memikirkan pembicaraanya. Jika Nampak maslahat pada pembicaraanya maka berbicaralah. Jika ia ragu tentang kemaslahatanya maka sebaiknya diam hingga Nampak kemaslahatanya.”

    Al Qur’an secara tegas melarang kita mencaci maki, mengumpat, mengolok-olok dan mengeluarkan kata-kata kotor lainya. Sebab, bisa jadi belum tentu orang yang melontarkanya lebih baik dari lawanya. Karena kata-kata kotor sendiri tak mungkin keluar dari jiwa yang bersih.” (QS. Al Hujurat: 11)
Namun demikian, diam tak selamanya dibenarkan. Selama kita mampu berkata dan berbuat benar, maka tak ada alasan untuk diam. Apalagi dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar, mengajak umat masyarakat sadar kepada Allah wa Rasulihi SAW. Mendiamkan kemunkaran atau menyembunyikan kebenaran sama-sama merupakan kesalahan fatal.

    ”Barangsiapa diantara kalian melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mencegahnya dengan tanganya (kekuasanya). Jika tidak mampu  hendaklah dengan lidahnya (kata-kata, ajakan). Jika tidak mampu barulah dengan hati. Dan inilah selemah-lemah iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka diperlukan kearifan untuk bisa menentukan pilihan secara benar. Kapan saatnya harus diam atau harus berbicara dan menetukan sikap. Semuanya tidak boleh didasarkan atas keraguan. Sebab kesalahan memilih akan mengiring manusia pada kebinasaan.

4 comments:

curigelap said...

...........

simenfero said...

kentut diam2

eLy said...

shhh.. ahaks

dheny said...

siepz saya suka ini.......terima kasih